Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan dunia. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Meskipun penyakit ini identik dengan daerah dataran rendah, penelitian dan laporan terbaru menunjukkan bahwa DBD kini memiliki potensi meningkat di wilayah pegunungan yang sebelumnya dianggap relatif aman.
Menurut Surat Edaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Nomor HK.02.02/C/261/2025, DBD tetap menjadi ancaman dan diprediksi bisa mengalami peningkatan kasus. JDIH Kemenkes
Dalam Profil Kesehatan Indonesia 2023, tercatat indikator pengendalian DBD menggunakan Incidence Rate (IR) dan Case Fatality Rate (CFR). Ministry of Health Indonesia
Strategi Nasional Penanggulangan Dengue (2021-2025) oleh Kemenkes mencakup penguatan pengendalian vektor, surveilans komprehensif, dan keterlibatan masyarakat. PPID
Selain itu, Kemenkes menyatakan bahwa kasus DBD tidak hanya muncul di kawasan endemik lama, tetapi juga di daerah yang sebelumnya dianggap tidak rawan. Ministry of Health Indonesia+1
Beberapa faktor mendorong meningkatnya risiko DBD di daerah pegunungan:
Perubahan Iklim
Kenaikan suhu global (climate change) menjadi faktor penting. Di beberapa negara pegunungan, nyamuk Aedes mulai terdeteksi di ketinggian yang sebelumnya jarang dihuni oleh vektor dengue. Kathmandu Post+1
Di Nepal, misalnya, nyamuk Aedes telah ditemukan hingga ketinggian 2.100 meter lebih. Gavi
Distribusi Nyamuk pada Ketinggian
Penelitian di Meksiko menunjukkan bahwa Aedes aegypti masih bisa ditemukan sampai ketinggian sekitar 1.700 meter, dan bahkan sedikit di atas ketinggian tersebut. PubMed
Ketersediaan tempat berkembang biak (larval sites) seperti genangan air pada tempat penampungan, wadah, dan kontainer di rumah atau area pegunungan juga mendukung siklus hidup nyamuk.
Mobilitas Penduduk dan Urbanisasi
Mobilitas penduduk yang semakin tinggi dan pembangunan infrastruktur di pegunungan (seperti pemukiman dan pariwisata) turut membawa potensi penularan virus dengue. Gavi
Perubahan perilaku manusia di pegunungan (menyimpan air di wadah terbuka, pot tanaman, tempat penampungan air) dapat meningkatkan tempat berkembang biak jentik nyamuk.
Kader kesehatan, petugas puskesmas, dan sistem surveilans di daerah pegunungan mungkin belum optimal dalam mendeteksi jentik Aedes atau kasus DBD karena kurangnya kebiasaan atau pengalaman di wilayah non-endemik dahulu.
Pengetahuan masyarakat pegunungan tentang DBD mungkin rendah, sehingga kesadaran untuk melakukan pencegahan (seperti 3 M Plus) belum maksimal.
Jika kasus DBD meningkat di pegunungan, sistem pelayanan kesehatan lokal bisa kewalahan, terutama jika infrastruktur kesehatan belum memadai.
Berdasarkan rujukan dari kebijakan dan penelitian, berikut beberapa rekomendasi pencegahan:
Surveilans Vektor dan Kasus: Puskesmas dan dinas kesehatan perlu memperkuat pemantauan jentik nyamuk dan laporan kasus DBD di wilayah pegunungan.
Edukasi Masyarakat: Sosialisasi DBD harus dilakukan di pegunungan â mengajarkan warga untuk menguras, menutup, dan mengubur tempat penampungan air (3 M), serta menambahkan larvasida jika diperlukan.
Kolaborasi Antar-Sektor: Melibatkan pemerintah daerah, sektor pariwisata, pemukiman baru di pegunungan untuk merancang tata letak yang ramah vektor (misalnya menutup bak air, membuat drainase baik).
Respons Terhadap KLB: Mengacu pada Surat Edaran Kemenkes 2025, daerah pegunungan perlu menyiapkan rencana darurat jika terjadi peningkatan kasus DBD yang signifikan. JDIH Kemenkes
Adaptasi dengan Perubahan Iklim: Menyesuaikan strategi pengendalian vektor dengan kondisi iklim lokal yang berubah, misalnya memilih waktu fogging atau pemberantasan jentik yang tepat sesuai pola suhu dan curah hujan di pegunungan.
Walaupun DBD tradisionalnya lebih dikenal sebagai penyakit dataran rendah, bukti ilmiah dan kebijakan kesehatan menunjukkan bahwa rusaknya iklim, mobilitas manusia, dan adaptasi nyamuk memungkinkan peningkatan risiko DBD di wilayah pegunungan. Karena itu, kewaspadaan perlu ditingkatkan di daerah pegunungan dengan penguatan surveilans, edukasi masyarakat, dan kolaborasi lintas sektor agar potensi wabah dapat dicegah lebih awal.
Komentar (0)
Belum ada komentar
Tulis Disini